Sains Membuat Kita Paham, Bukan Sekadar Percaya

Banyak orang Indonesia yg bangga dikenal sebagai bangsa yg religius. Orang Indonesia juga bangga dengan keragaman agama dan (katanya) memiliki tingkat toleransi yg tinggi antar ummat beragama yg berbeda. Orang Indonesia menganggap agama sebagai hal yg (sangat) penting dalam hidup mereka. Hal ini dibuktikan dalam survei oleh lembaga survei Gallup Poll pada tahun 2009 yg lalu terhadap 150 negara di dunia. Indonesia masuk 10 besar (urutan ke-6) negara yg warganya menganggap agama penting dalam hidupnya, dengan persentase mencapai 99%.

Bangga akan tingkat religiusitas tentu sah-sah saja. Hal yg menarik untuk diperhatikan dalam hasil survei tersebut adalah negara yg warganya menganggap agama sangat penting (95% ke atas) rata-rata adalah negara berkembang. Sebaliknya negara yg warganya menganggap agama kurang penting (kurang dari 50%) rata-rata adalah negara maju. Jika dikaitkan dengan hasil survei minat baca dan literasi sains dari survei Pisa juga menunjukkan relasi yg serupa. Negara yg warganya menganggap agama sangat penting rata-rata memiliki minat baca dan literasi sains yg rendah. Menarik.

Mengapa bisa demikian? Menurut saya setidaknya ada tiga faktor utama. Faktor pertama adalah lingkungan. Sebagai bangsa yg religius, umumnya masyarakat kita sudah mendidik anak-anak sejak dini untuk menjadi pemercaya, bukan pemikir. Sudah jadi hal biasa di lingkungan kita, balita atau kanak-kanak dipaksa berjilbab oleh orang tuanya (muslim) atau dibawa mengikuti misa gereja (kristiani). Orang tua bangga jika anaknya tampil religius di usia dini walaupun sering kali anak menolak atau tidak paham apa yg dikenakannya. Padahal agamanya belum tentu mewajibkan hal yg demikian. Jika anak-anak bertanya tentang agama, orang tua hanya bilang itu ajaran atau kehendak Tuhan yg harus kita terima dan percaya apa adanya. Ruang berpikir dan daya kritis anak dikerdilkan.

osler-ignorance-dogmatism.jpeg

Dorongan lingkungan tidak hanya dari masyarakat saja, tapi juga dari pemerintah kita sendiri. Faktor kedua adalah sistem pendidikan. Sistem pendidikan kita masih belum cukup bagus untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak-anak. Kurikulum kita masih condong pada metode hafalan daripada analisis terhadap materi pelajaran sekolah. Tujuan pendidikan kita masih pada lulus sekolah dengan nilai yg baik, lalu dengan nilai baik itu kelak bisa jadi bekal mencari pekerjaan yg baik. Orientasi pendidikan kita masih untuk mencari pekerjaan, bukan pehamaman pada ilmu pengetahuan. Akibatnya, ilmu pengetahuan dari sekolah nyaris tidak meninggalkan bekas di otak anak-anak didik kita. Pelajaran sekolah seolah masuk otak, tinggal sebentar sampai ujian, setelah itu keluar lagi karena sudah dianggap tak berguna.

Kombinasi faktor lingkungan dan pendidikan ini menjadikan generasi muda kita rentan terhadap pembodohan, pembohongan, dan hasutan sebab mereka tidak terbiasa berpikir kritis dengan logika dan ilmu yg benar. Masyarakat dan pemerintah mengerdilkan kemampuan analisis generasi mudanya sendiri dengan merendahkan akal dan daya pikir mereka. Jika ada anak-anak yg kritis menanyakan segala hal, apalagi ajaran agama, akan muncul larangan “jangan memuja akal”. Mereka diajarkan untuk percaya saja pada iman sebab terlalu menggunakan akal akan merusak iman. Maka jangan heran jika literasi sains kita sangat rendah.

Faktor ketiga adalah secara alami memang manusia lebih mudah percaya daripada berpikir dan paham. Untuk menjadi paham kita harus mau meluangkan waktu dan daya pikir untuk mempelajari, mengkaji, dan mencerna hal yg kita ingin pahami. Jika malas belajar tentu juga malas membaca. Dalam konteks sains, butuh upaya lebih besar lagi, misalnya melakukan pengamatan, perhitungan, dan eksperimen untuk pembuktian. Tapi untuk percaya, nyaris tidak butuh upaya apa-apa. Tinggal percaya saja, selesai. Perkara apakah yg dipercaya itu benar, masuk akal, dan sesuai dengan fakta, itu urusan nanti yg tidak penting. Yg penting yakin.

popper-ignorance-knowledge.jpeg

Contohnya bentuk Bumi. Bagaimana bentuk Bumi? Bagaimana proses terbentuknya Bumi? Berapa ukuran Bumi? Semua pertanyaan itu sulit dijawab tanpa proses kajian pustaka, pengamatan, perhitungan dan eksperimen. Percaya bahwa bentuk Bumi itu datar berdasarkan ayat kitab suci jauh lebih mudah daripada belajar ilmu Bumi. Jika ada yg bertanya bagaimana prosesnya, tinggal jawab saja “itu kehendak Tuhan”. Jika ada yg bertanya mana buktinya, tinggal jawab saja “Bumi ciptaan Tuhan, tak perlu bukti karena Tuhan Maha Kuasa”. Ada yg tidak terima Bumi datar, tinggal tuduh saja “anda tidak percaya Tuhan dan firmanNya? atheis ya?”. Beres.

Mereka yg demikian itu sudah tidak memiliki keinginan untuk belajar. Pengalaman belajar di sekolah yg dulu mungkin membosankan dan menakutkan masih jadi trauma. Setelah lulus sekolah, berarti selesai juga proses belajar. Jika harus belajar lagi, mereka akan menolak. Mereka memilih untuk percaya saja. Mereka menolak untuk paham. Bagi mereka, ilmu dunia tidak penting karena akhirat lebih penting. Jika kehidupan mereka di dunia jadi terdesak karena rendahnya ilmu dan logika mereka, tinggal salahkan saja si kambing hitam fiktif bernama “elit global”. Masalah pun selesai.

Selama orang-orang seperti itu masih banyak di negeri kita ini, sulit sekali bangsa kita akan maju dalam sains dan teknologi. Masa depan generasi muda kita masih akan dipenuhi dengan orang-orang “mabuk agama” yg lebih mementingkan iman dan akhirat daripada ilmu pengetahuan dan pencapaian teknologi untuk peradaban yg lebih maju di dunia. Padahal seharusnya semua itu adil dan seimbang, sukses di dunia juga sukses di akhirat.

Salam akal sehat! 😊